Minang Saisuak #97 - Anak Daro dan Ibu-Bapanya dari Solok


Duduk bersanding di pelaminan tentu jadi idaman banyak gadis. Itulah hari-hari yang dinanti-nanti dalam hidup seorang wanita. Kemeriahan pesta perkawinan di Minangkabau dengan elok digambarkan oleh sebuah lagu Minang standar yang berjudul ‘Malam Bainai’.Malam-malam baeko yo Mamak / Malam-malam bainai, yo Sayang / Anak daro, yo Mamak / Jo marapulai’, demikian penggalan lirik lagu tersebut yang dipopulerkan oleh ‘Cik Uniang’ Elly Kasim.
Pesta perkawinan adalah momen yang paling primordial dalam kehidupan bangsa Indonesia. Artinya, hampir setiap orang, dari taraf sosial ekonomi apa saja, kalau sudah urusan menikah dan menyelenggarakan pesta perkawinan, langsung tampak latar belakang etnisnya, karena mereka cenderung merayakannya dengan cara adat etnis masing-masing, baik yang tinggal di kota (wilayah urban) apalagi yang tinggal di pedesaan (wilayah rural).
Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan sebuah foto (9×12 cm.) yang menggambarkan seorang pengantin wanita (anak daro) yang sedang diapit oleh bapak danmandeh-nya. Mungkin ini momen saat si anak daro akan berangkat manjalang ke rumahmarapulai (pengantin pria) yang tentu saja akan diiringi oleh ipa-bisa,andan-pasumandan dan urang nagari. Dari model sunting di kepalanya dapat diduga pengantin wanita ini berasal dari darekLihat juga galang gadang dan segala perhiasan emas dan perak yang menggantung di dada pengantin ini. Ibunya memakai pakaian standar wanita Minang zaman saisuak. Dan penampilan ayahnya, yang memegang tongkat datuak dan keris tersisip di pinggang, menunjukan bahwa dia juga cukup disegani dalamnagari. Di latar belakang kelihatan bagian dinding rumah gadang mereka yang berukirbamego-mego. Tidak tiketahui kapan persisnya foto ini dibuat dan oleh siapa. Tapi sangat mungkin foto ini berasal dari paroh pertama abad ke-20.
Perhelatan tradisional di Minangkabau masih tetap dilestarikan, dengan segala variasi antar satu dan lain nagari, walau beberapa bagian dari prosesi perkawinan itu juga telah berubah karena zaman yang beredar dan musim yang terus berganti.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam). | Singgalang, 29 Juli 2012

0 comments:

Post a Comment