Minang Saisuak #117 - Si “Muslim - Komunis” Minang: Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah (1895-1949)
“West Sumatra in the late of nineteenth and early twentieth centuries became an ideological breeder reactor”, kata Jaffrey Hadler (1998:180). Dan salah satu ‘kayu api’ pemanas reaktor itu adalah Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah, tokoh yang kami tampilkan dalam rubrik Minang Saisuak minggu ini.
Sejarawan Universitas Andalas, Fikrul Hanif Sufyan, yang sedang mendalami biografi tokoh ini, mengatakan bahwa Dt. Batuah adalah seorang Muslim Minangkabau yang memadukan prinsip-prinsip Islam dan ideologi Marxis dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Foto-fotonya jarang ditemukan dalam risalah-risalah historis mengenai gerakan Komunisme di Sumatera Barat tahun 1920-an. Kita beruntung mendapatkan foto Dt. Batuah yang unik ini, dengan baju ala Kamerad Stalin dan wajah yang kelihatan cukup sangar, yang dipajang oleh Fikrul dalam blognya, Basajarah (http://basajarah.wordpress.com dikunjungi, 13-12-2012). Fikrul menulis, Dt. Batuah lahir di Koto Laweh, Padang Panjang, tahun 1895 dari pasangan Syekh Gunung Rajo (seorang pemimpin tarekat Syattariyah) dan Saidah. Ia mempunyai dua saudara perempuan: Sanah dan Jamilah.
Dt. Batuah, yang pergi ke Mekah tahun 1909 dan kembali ke Minangkabau tahun 1915, mengenal Komunisme dari Natar Zainuddin di Aceh. Pada waktu itu ia sudah menjadi guru di Sumatra Thawalib. Ia pergi ke Aceh sebagai utusan Haji Rasul untuk meninjau Thawalib School di Aceh yang pernah dirintis oleh A.R. Sutan Mansur. Ia sempat bertemu dengan Haji Misbach, salah seorang tokoh komunis yang terkenal pada waktu itu.
Kiprah politik Dt. Batuah tak lepas dari fenomena kelahiran Sarikat Islam Merah (SI Merah) di Jawa yang membuat Tjokroaminoto dkk. berenggang haluan politik dengan Semaun dkk. pada awal 1920, yang tampaknya cepat menjalar ke Minangkabau. Namun, dalam bukunya, Sedjarah PKI (1957:10), Djamaluddin Tamim menulis: “Malah di Padang Pandjang, sebuah kota ketjil di Sumatera Tengah tempat berkumpul dan pusatnja pesarntren Agama/Mahasiswa Ilmu Gaib dari seluruh Sumatera, sudah sedjak awal tahun 1920 disanapun sudah mulai menjebut2 tentang Sosialisme-Komunisme Sarikat Merah, walaupun pada permulaannja makanja Padang Pandjang menjadi pusat kaum merah, menjadi kota merah di Sumatera, hanjalah mendirikan BOPET MERAH sebagai tjabangnja Koperasi kaum Merah disana, jakni lima enam bulan sebelumnja lahir PKI di Semarang tahun 1920″.
Sebagai saudara masih ingat, berdua saudara itu sama dibuang oleh Pemerintah karena didakwa membikin persekutuan akan mengatur pemberontakan di Padang-Panjang (Sumatera Barat). Saudara Zainuddin ke Kafannanoe[2] dan Saudara Datuk Batuah ke Kalabai[3], keduanya turun bagian residensi Timor.
Sekarang saudara-saudara itu telah tinggal dalam pembuangannya masing-masing dengan istri dan anaknya.
Berdua saudara itulah suatu korban gerakan merah di Sumatera. Karena pembuangannya berdua saudara itulah maka gerakan Rakyat yang berdasar Kemerahan di Sumatera-Barat makin hebat. Sebab Rakyat makin mengandung kesumat.
Cobalah di sini kami bikin pemandangan sedikit sepanjang yang telah kami ketahui, riwayatnya berdua saudara ini, mulai masuk dalam gerakan kita sampai datang pada pembuangannya.
Karena geraknya yang keras maka saudara ini lalu ditangkapnya dan diusir dari Sumatera-Barat, setelah satu tahun dalam preventif ke Kalabai karena didakwa membuat komplotan pemberontakan bersama-sama dengan saudara Natar Zainoeddin.
Begitulah keadaannya.
Saudara-saudara! Berdua saudara ini sekarang sudah menjadi korban dan hidup dalam pembuangan dengan anak-istri, jauh dengan kawan Separtai dan family. Sebab itu tunjukkanlah pembalasan budimu.
Sampai di sini. Lain kali kami muatkan gambarnya saudara H. Misbach.[4]
Sebelumnya, dalam edisi 7 November 1925, dalam rangka memperingati kemenangan kaum proletar merebut kekuasaan di Uni Sovyet, Njala mengucapkan selamat kepada para pemuka PKI di Hindia Belanda, termasuk Dt. Batuah dan Natar Zainuddin. Berikut kutioannya:
Selama dalam pembuangan di Timor, Dt. Batuah dan Natar Zainuddin terus mengampanyekan ajaran komunis. Ia ikut memberi andil dalam pendirian cabang PKI di Timor. Pada tahun 1927 Dt. Batuah dan Natar Zainuddin dipindahkan ke Digul.[6] Mereka dan para digulis lainnya diungsikan Belanda ke Australia menyusul serangan Jepang ke Hindia Belanda tahun 1942. Dt. Batuah dan istrinya kembali menghirup udara kebebasan pada 1945. Mereka pergi Jawa beberapa saat lamanya dan dikabarkan pernah tinggal di Solo. Pada 1948 Dt. Batuah kembali ke Koto Laweh, Padang Panjang. Terkesan ia agak jinak sepulang dari Digul. Tapi, konon Dt. Batuah tetap mendakwahkan ajaran Komunisme di kampungnya, sampai ia meninggal di Koto Laweh pada tahun 1949.
Sejarawan Universitas Andalas, Fikrul Hanif Sufyan, yang sedang mendalami biografi tokoh ini, mengatakan bahwa Dt. Batuah adalah seorang Muslim Minangkabau yang memadukan prinsip-prinsip Islam dan ideologi Marxis dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Foto-fotonya jarang ditemukan dalam risalah-risalah historis mengenai gerakan Komunisme di Sumatera Barat tahun 1920-an. Kita beruntung mendapatkan foto Dt. Batuah yang unik ini, dengan baju ala Kamerad Stalin dan wajah yang kelihatan cukup sangar, yang dipajang oleh Fikrul dalam blognya, Basajarah (http://basajarah.wordpress.com dikunjungi, 13-12-2012). Fikrul menulis, Dt. Batuah lahir di Koto Laweh, Padang Panjang, tahun 1895 dari pasangan Syekh Gunung Rajo (seorang pemimpin tarekat Syattariyah) dan Saidah. Ia mempunyai dua saudara perempuan: Sanah dan Jamilah.
Sejarah telah mencatat bahwa Dt. Batuah dan teman-temannya mendirikan PKI cabang Padang Panjang secara resmi pada 20 November 1923. Ia aktif mengampanyekan ideologi perjuangan SI Merah alias Sarekat Rajat melalui ceramah-ceramah maupun media cetak seperti Pemandanga Islam, Djago! Djago!, dan Doenia Achirat. Muhammad Ilham dalam blognya (http://ilhamfadli.blogspot.nl/search?q=Dt.+Batuah dikunjungi 12-12-2012) menulis: “Keberhasilan Dt. Batuah menyebarkan ‘Faham Kuminih’ di kalangan pelajar Sumatera Thawalib menyebabkan timbulnya perpecahan di kalangan guru dan murid” dan mendorong Buya Hamka mundur sebagai pengajar di sekolah itu. Namun, Dt.Batuah (dan Natar Zainuddin) keburu ditangkap Belanda pada 11 November 1923. Mereka ditahan Belanda tanpa diadili. Pada bulan Desember 1924 mereka diasingkan ke daerah Sunda Kecil (sekarang Nusa Tenggara Timur).[1]Surat kabar Njala edisi 14 November 1925 dalam artikelnya yang berjudul ‘Korban Pembela Rajat jang Paling Akhir’ memuat foto Dt. Batuah dan Natar Zainuddin. Njala menulis:
Dibawah inilah kami muatkan gambarnja saudara-saudara NATAR ZAINOEDDIN danDATOE’ BATOEAH.Korban pembela Rakjat yang paling sehat. Potret ini kami dapat waktu saudara-saudara itu berangkat ke pembuangannya.
Sebagai saudara masih ingat, berdua saudara itu sama dibuang oleh Pemerintah karena didakwa membikin persekutuan akan mengatur pemberontakan di Padang-Panjang (Sumatera Barat). Saudara Zainuddin ke Kafannanoe[2] dan Saudara Datuk Batuah ke Kalabai[3], keduanya turun bagian residensi Timor.
Sekarang saudara-saudara itu telah tinggal dalam pembuangannya masing-masing dengan istri dan anaknya.
Berdua saudara itulah suatu korban gerakan merah di Sumatera. Karena pembuangannya berdua saudara itulah maka gerakan Rakyat yang berdasar Kemerahan di Sumatera-Barat makin hebat. Sebab Rakyat makin mengandung kesumat.
Cobalah di sini kami bikin pemandangan sedikit sepanjang yang telah kami ketahui, riwayatnya berdua saudara ini, mulai masuk dalam gerakan kita sampai datang pada pembuangannya.
NATAR ZAINOEDDIN
Saudara ini kelahiran di Sumatera-Barat. Kemudian untuk mendapatkan pencarian kehidupannya ia bekerja pada Kereta-Api di Aceh. Karena aksinya keras, baik dalam VSTP [Vereeniging van Spoor en Tramwegpersoneel; Syd], maupun dalam PKI, terutama dalam pemogokan Kereta-Api tahun 1923, maka diusirlah ia dari Aceh ke tempat kelahirannya, yaitu ke Sumatera-Barat. Disana ia memimpin S.R. [Serikat Ra'jat; Syd] di Padang-Panjang dan menjadi Redacteur DJAGO! DJAGO!.
Setelah itu maka ia lalu ditangkap dan diusir dari Sumatera-Barat setelah satu tahunan dalam preventif, ke Kafananu, karena didakwa akan mengadakan pemberontakan.
DATOE’ BATOEAH
Saudara ini juga kelahirandi Sumatera-Barat. Ia ada[lah] seorang saudara yang sangat pandai dalam agama Islam. Karena itulah ia lalu diangkat oleh penduduk kampungnya di Padang-Panjang menurut ada menjadi Penghulu dan diberi gelar Datoe’. Karena keyakinannya tentang agama Islam yang luas dan Revolusioner maka tiada heranlah bahwa saudara itu lalu masuk dalam kalangan kita, sebagai juga halnya saudara H. Misbach, karena bagi tiap kaum Islam yang Revolusioner setujulah jalannya menurut keselamatan dan datangnya Kemerdekaan itu sama-sama kaum Communist.
Saudara ini juga kelahirandi Sumatera-Barat. Ia ada[lah] seorang saudara yang sangat pandai dalam agama Islam. Karena itulah ia lalu diangkat oleh penduduk kampungnya di Padang-Panjang menurut ada menjadi Penghulu dan diberi gelar Datoe’. Karena keyakinannya tentang agama Islam yang luas dan Revolusioner maka tiada heranlah bahwa saudara itu lalu masuk dalam kalangan kita, sebagai juga halnya saudara H. Misbach, karena bagi tiap kaum Islam yang Revolusioner setujulah jalannya menurut keselamatan dan datangnya Kemerdekaan itu sama-sama kaum Communist.
Karena geraknya yang keras maka saudara ini lalu ditangkapnya dan diusir dari Sumatera-Barat, setelah satu tahun dalam preventif ke Kalabai karena didakwa membuat komplotan pemberontakan bersama-sama dengan saudara Natar Zainoeddin.
Begitulah keadaannya.
Saudara-saudara! Berdua saudara ini sekarang sudah menjadi korban dan hidup dalam pembuangan dengan anak-istri, jauh dengan kawan Separtai dan family. Sebab itu tunjukkanlah pembalasan budimu.
Sampai di sini. Lain kali kami muatkan gambarnya saudara H. Misbach.[4]
Sebelumnya, dalam edisi 7 November 1925, dalam rangka memperingati kemenangan kaum proletar merebut kekuasaan di Uni Sovyet, Njala mengucapkan selamat kepada para pemuka PKI di Hindia Belanda, termasuk Dt. Batuah dan Natar Zainuddin. Berikut kutioannya:
Kepada Datoe’ Batoeah dan Natar Zainoeddin, kedua pemuka yang dengan memajukan agama Islam sejati dan selalu berdiri tegak atas kebenaran dan selalu dengan susah-payah berdaya-upaya menyebarkan kebenaran itu, sehingga tertariklah banyak orang masuk ke kalangan Merah, sedang semua halangan dan rintangan sama sekali tidak diperdulinya.[5]
Mungkin bagi kita generasi binaan ‘Orde Baru’ yang ’sukses’ menstigmasi PKI, tinggal satu pertanyaan: Haji Ahmad Khatib Dt. Batuah itu lai sambayang atau indak? Biarlah, itu urusan seseorang dengan Tuhannya. Tapi terlintas pula di batu kapala saya, apakah para pembaca rubrik ini, khususnya orang Minang, yang hidup di ‘zaman uedhan’ sekarang ini, masih tetap jua suka sambayang atau sudah acok pula tingga?
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Narlis, 70 thn., keluarga Dt. Batuah, Koto Laweh). | Singgalang, Minggu, 30 Desember 2012
[1]. Djamaluddin Tamim, Sedjarah PKI (stensilan, 1957), hlm. 14. Buku ini mencatat nama akhirnya Tamim, bukan Tamin, sebagaimana ditulis di banyak sumber lain.
[2]. Yang dimaksud adalah kota Kafamenanu yang sekarang menjadi ibukota Kecamatan Kafamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kota ini didirikan Belanda pada tgl. 22 September 1922. Lebih jauh mengenai daerah ini, lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/ Kota_Kefamenanu,_Timor_Tengah_ Utara (dikunjungi: 30-12-2012) (Catatan Suryadi).
[3]. Yang dimaksud adalah Kalabahi yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kota ini mulai dibangun Belanda tahun 1911. Lebih jauh mengenai Kalabahi, lihat antara lain: http://id.wikipedia.org/wiki/Kalabahi(dikunjungi: 30-12-2012) (Catatan Suryadi).
[4]. Dikutip dari: http://arie-widodo.blogspot.nl/2012/03/korban-pembela-rajat-jang-paling-achir.html (dikunjungi: 30-12-2012). Ejaan mungkin sudah diubah oleh penulis blog ini dan tidak dapat saya kembalikan ke bentuk aslinya karena saya belum berhasil melihat tulisan aslinya dalam Njala edisi 14 November 1925 sebab belum mendapat kesempatan untuk melihat langsung sumber pertama itu.
[5].Ibid. (dikunjungi: 30-12-2012).
[6]. Djamaluddin Tamim (op cit.), hlm. 14.
0 comments:
Post a Comment