Minang Saisuak #100 - Ungku Saliah Kiramaik, Sungai Sariak (c. 1887 - 1974)
“Orang dulu banyak kiramaik”, demikiam sering kita dengar omongan dalam masyarakat. Fenomena Ungku Saliah mungkin membenarkan omongan itu. Beliau adalah seorang ulama yang sangat dikeramatkan di daerah Pariaman, malah menyebar sampai ke rantau. Skripsi Miko Juniputra Biografi dan Dokumentasi Cerita tentang Ungku Saliah Kiramat di Sungai Sariak (Universitas Andalas, 2006) mencatat dengan cukup rinci folklor tentang ulama yang dikeramatkan tersebut. (Terima kasih kepada M. Yunis yang telah berkenan mengirimkan fotokopi skirpsi itu kepada saya di Leiden).
Angku Saliah diperkirakan lahir tahun 1887 di Pasa Panjang Sungai Sariak, anak dari Tulih (ayah; Mandailing) dan Tuneh (ibu; Sikumbang). Dawat, demikian nama kecilnya, punya empat saudara, tapi hanya dirinya seorang yang menjadi ulama. Masa kecil Dawat dihabiskan di kampungnya, seperti umumnya anak-anak Minangkabau. Pada usia 15 tahun (sekitar 1902) Dawat belajar mengaji dengan Syekh Muhammad Yatim Tuangku Mudiak Padang di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi. Di sana ia mendapat pengajaran ilmu tarekat dan mendapat gelar ‘saliah’ (saleh) dari gurunya karena ia sangat rajin belajar dan beribadah. Setelah itu Dawat memperdalam ilmu tarekatnya dengan Syekh Aluma Nan Tuo di Koto Tuo, Bukittinggi. Setelah itu Dawat balik ke Ampalu, namun kemudian ia pergi memperdalam ilmu tarekatnya lagi kepada Syekh Abdurrahman di Surau Bintungan Tinggi. Setelah tamat ‘mengaji’ di Surau Bintungan Tinggi, Dawat kembali ke Ampalu. Gelar ‘Ungku Saliah’ melekat pada dirinya setelah ia menjadi guru mengaji di kampungnya sendiri di Sungai Sariak.
Semasa hidupnya Ungku Saliah melakukan berbagai perbuatan yang memperlihatkan ciri-ciri orang kiramaik. Skripsi Miko Joniputra mencatat berbagai cerita yang mengendap dalam pikiran kolektif penduduk Sungai Sariak mengenai kekeramatan Ungku Saliah. Antara lain disebutkan apabila seorang pedagang tidak mau menjual suat barang seharga yang beliau tawar, maka barang itu tidak akan terjual sampai kapanpun. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang pedagang mau menjual barangnya seharga yang beliau tawar, maka dagangan itu akan laris manis dan bemberikan keuntungan yang besar.
Ungku Saliah wafat di rumahnya di Sungai Sariak pada 3 Agustus 1974. Di makamnya dibuatkan gobah yang sampai sekarang tetap dikunjungi oleh para penziarah. Kini saya mengerti mengapa di banyak kedai dan rumah makan milik orang Pariaman, baik di kampung maupun di rantau, dipajang potret Ungku Saliah. Saya pun sempat membelinya sebuah potret beliau yang dijual di depan gerbang masuk makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Sentengah orang berkata memajang foto Ungku Saliah itu adalah perbuatan bid’ah. Entahlah. Siapa tahu Tuhan Yang Maha Bijaksana berpendapat lain.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: koleksi penulis). | Singgalang, Minggu, 26 Agustus 2012
Angku Saliah diperkirakan lahir tahun 1887 di Pasa Panjang Sungai Sariak, anak dari Tulih (ayah; Mandailing) dan Tuneh (ibu; Sikumbang). Dawat, demikian nama kecilnya, punya empat saudara, tapi hanya dirinya seorang yang menjadi ulama. Masa kecil Dawat dihabiskan di kampungnya, seperti umumnya anak-anak Minangkabau. Pada usia 15 tahun (sekitar 1902) Dawat belajar mengaji dengan Syekh Muhammad Yatim Tuangku Mudiak Padang di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi. Di sana ia mendapat pengajaran ilmu tarekat dan mendapat gelar ‘saliah’ (saleh) dari gurunya karena ia sangat rajin belajar dan beribadah. Setelah itu Dawat memperdalam ilmu tarekatnya dengan Syekh Aluma Nan Tuo di Koto Tuo, Bukittinggi. Setelah itu Dawat balik ke Ampalu, namun kemudian ia pergi memperdalam ilmu tarekatnya lagi kepada Syekh Abdurrahman di Surau Bintungan Tinggi. Setelah tamat ‘mengaji’ di Surau Bintungan Tinggi, Dawat kembali ke Ampalu. Gelar ‘Ungku Saliah’ melekat pada dirinya setelah ia menjadi guru mengaji di kampungnya sendiri di Sungai Sariak.
Semasa hidupnya Ungku Saliah melakukan berbagai perbuatan yang memperlihatkan ciri-ciri orang kiramaik. Skripsi Miko Joniputra mencatat berbagai cerita yang mengendap dalam pikiran kolektif penduduk Sungai Sariak mengenai kekeramatan Ungku Saliah. Antara lain disebutkan apabila seorang pedagang tidak mau menjual suat barang seharga yang beliau tawar, maka barang itu tidak akan terjual sampai kapanpun. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang pedagang mau menjual barangnya seharga yang beliau tawar, maka dagangan itu akan laris manis dan bemberikan keuntungan yang besar.
Ungku Saliah wafat di rumahnya di Sungai Sariak pada 3 Agustus 1974. Di makamnya dibuatkan gobah yang sampai sekarang tetap dikunjungi oleh para penziarah. Kini saya mengerti mengapa di banyak kedai dan rumah makan milik orang Pariaman, baik di kampung maupun di rantau, dipajang potret Ungku Saliah. Saya pun sempat membelinya sebuah potret beliau yang dijual di depan gerbang masuk makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Sentengah orang berkata memajang foto Ungku Saliah itu adalah perbuatan bid’ah. Entahlah. Siapa tahu Tuhan Yang Maha Bijaksana berpendapat lain.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: koleksi penulis). | Singgalang, Minggu, 26 Agustus 2012
0 comments:
Post a Comment