Eijkman Peringati 65 Tahun Kematian Tragis Achmad Mochtar
Jakarta, Sejumlah dokter dan ilmuwan dieksekusi tentara Jepang dengan tuduhan melakukan sabotase setelah lebih dari 1.000 romusha di Klender, Jakarta tewas usai divaksin TCD (Typhus Cholera Dysentery) pada tahun 1944. Direktur Indonesia Pertama Lembaga Eijkman, Prof. Dr. Achmad Mochtar meminta para peneliti dibebaskan dengan taruhan dirinya dieksekusi pada 3 Juli 1945.
Bertepatan dengan 65 tahun kematian Prof. Dr. Achmad Mochtar, Lembaga Biologi Molekul Eijkman melakukan renungan di makam sang profesor di Pemakaman Ereveld, Kawasan Ancol, Jakarta, Sabtu (3/7/2010).
Acara renungan yang bertajuk 'Dawn Memorial Service of Prof. Dr. Achmad Mochtar' kali ini menjadi istimewa, karena dua ilmuwan Eijkman Prof Sangkot Marzuki dan J. Kevin Baird, bulan lalu berhasil mengungkap lokasi makam sang profesor yang selama ini masih misterius.
Berdasarkan catatan salah seorang petugas militer Jepang, Prof Achmad Mochtar dieksekusi pada tanggal 3 Juli 1945. Ia lalu dikuburkan secara massal bersama dokter lain yang tewas di dalam tahanan, dan sejak saat itu tidak seorangpun tau di mana letak makamnya.
Menurut Sangkot dan Baird, seorang asisten Achmad Mochtar yaitu Ali Hanafiah sebenarnya telah menemukan makam tersebut pada akhir tahun 1976. Ia menuliskan dalam sebuah memoar pada tahun 1977, namun catatan terebut hanya diketahui oleh keluarganya sendiri.
Informasi mengenai makam tersebut justru ditemukan oleh Sangkot dan Kevin dalam arsip milik Institut Dokumentasi Perang yang ada di Amsterdam. Setelah mendapatkan info, pada 10 Juni 2010 keduanya mendatangi makam Evereld, sebuah pemakaman Belanda di kawasan Ancol, Jakarta.
Pada lokasi yang ditunjukkan oleh Institut Dokumentasi Perang, nama Mochtar ternyata tidak ditemukan. Baru setelah dicek satu persatu, Sangkot dan Kevin menemukan nama Mochtar di lokasi lain di dalam pemakaman tersebut.
"Ternyata sumber dari Amsterdam itu juga tidak akurat. Oleh karena itu saya yakin, selain Ali Hanafiah pada tahun 1966, belum ada seorangpun yang menemukan makam ini. Kalau ada, tentunya data itu sudah dikoreksi," ungkap Sangkot dalam acara renungan di makam Ereveld, Ancol, Sabtu (3/7/2010).
Tidak hanya menemukan lokasi makam, Sangkot dan Kevin juga berhasil mengumpulkan beberapa keturunan Prof Achmad Mochtar. Dua cucu perempuan Mochtar, yakni Moniq dan Jolanda yang tinggal di Belanda akhirnya hadir dalam acara renungan yang baru pertama digelar di makam tersebut.
Sekilas Prof. Dr. Achmad Mochtar
Terlahir di Sumatra Barat tahun 1892, Mochtar lulus dari sekolah kedokteran STOVIA tahun 1916 dan mengambil 2 tahun penempatan wajib di klinik terpencil di Panyabungan Sumatera Utara. Disana bertemu dengan W.A.P Schuffner, peneliti mikroskopik longitudinal pertama pada parasit malaria.
Berkat pengaruh Schuffner, administrasi kolonial Belanda di Indonesia (saat itu disebut Netherlands East Indies) memberangkatkan Mochtar ke Universitas Amsterdam untuk meraih gelar doktor.
Dalam tulisan tesisnya tahun 1927 dia menulis soal leptospira, dimana saat itu sebagian besar menyangkal bahwa leptospira menyebabkan demam kuning. Promotor utamanya adalah Hideyo Noguchi, ahli mikrobiologi Jepang yang pada tahun 1911 membuktikan bahwa ada jenis spirochete merupakan penyebab neuropati syphilis.
Mochtar kembali ke Indonesia dan melanjutkan penelitian mengenai leptospirosis sebelum bergabung dengan fasilitas penelitian biomedis terbaik, the Central Medical Laboratory di Indonesia tahun 1937. Mochtar kemudian ditunjuk sebagai direkturnya yang kemudian lembaganya berganti nama menjadi Eijkman.
Tragedi Klender
Pada bulan Juli 1944 di sebuah kampung Romusha atau kerja paksa di Klender Jakarta geger setelah ratusan romusha mendapatkan suntikan vaksin tifus, kolera dan disentri yang kemudian tewas. Sebenarnya pemberian vaksin itu bukan dilakukan oleh Lembaga Eijkman tapi Lembaga Pasteur Bandung yang pada waktu itu dikelola oleh militer Jepang.
Seperti dikutip Science Magazine, edisi 2 Juli 2010, beberapa detail dari peristiwa Romusha itu mungkin tidak akan pernah terungkap. Simpang siur, misalnya, berapa Romusha yang disuntik vaksin yang perkiraannya sebanyak 1500 orang.
Para pekerja ini menderita penyakit dengan gejala tetanus, lalu Jepang meminta para dokter dari Eijkman untuk mengobatinya.
Peneliti dari Lembaga Eijkman ketika itu berhasil menemukan kontaminasi racun tetanus dalam vaksin yang diberikan kepada para Romusha. Celakanya, Jepang justru menuduh para peneliti punya skenario di balik kontaminasi tersebut.
Sejumlah dokter dan staf Lembaga Eijkman ditangkap dan disiksa agar mengaku, termasuk Prof Dr Achmad Mochtar direktur yang menjabat saat itu.
"Orang Jepang menggambarkannya sebagai wabah meningitis (radang selaput otak), tapi pemeriksaan melalui fungsi sumsum tulang mengatakan lain," kata Baird seperti dikutip dari Science Magazine.
Suatu tim medis yg dipimpin oleh Bahder Djohan segera membawa sekitar 90 Romusha yang belum terlalu parah sakitnya ke beberapa rumah sakit pusat di Jakarta untuk terapi antitetanus, tapi nyawa mereka tidak dapat diselamatkan.
Beberapa minggu sesudahnya, para peneliti Eijkman yang menganalisa hasil autopsi sampel jaringan berkesimpulan bahwa ternyata vaksinnyalah yang telah terkontaminasi oleh racun tetanus.
Tapi temuan itu justru membuat Jepang marah. Pada bulan Oktober 1944, Kenpeitai (tentara Jepang) menangkap Mochtar dan rekan-rekannya dan juga para dokter dan staf di rumah sakit yang melakukan vaksinasi. Para tawanan itu mengatakan bahwa mereka dipikuli, disetrum, dibakar dan dituang air. Seorang dokter tewas ketika sedang disiksa dan seorang lainnya mati di dalam tahanan.
Orang-orang di Institut Eijkman yang selamat dibebaskan pada bulan Januari 1945 kecuali Mochtar. Diduga Mochtar meyakinkan agar mereka dibebaskan dibebaskan dengan imbalan bersedia menjadi tahanan.
Mochtar kemudian dihukum pancung pada tanggal 3 Juli 1945. Berdasarkan penelusuran buku harian salah satu perwira Jepang, mayatnya kemudian digilas dengan mesin giling dan sisa-sisa tubuhnya dibuang ke pemakaman massal di Evereld Ancol.
Direktur Lembaga Eijkman saat ini, Prof Sangkot Marzuki menilai berbagai bukti menunjukkan Prof Achman Mochtar tidak bersalah dalam tragedi tersebut. Saat melakukan penelusuran bersama J Kevin Baird, sejawatnya yang memimpin
Eijkman-Oxford Clinical Research, ia menemukan sejumlah kejanggalan.
Salah satunya terkait kondisi kampung Romusha di Klender yang sangat menyedihkan, seperti dikatakan oleh beberapa sumber yang diperoleh Sangkot dan Kevin. "Untuk apa Jepang mem-vaksin orang-orang yang bahkan tidak mereka beri makan?" tanya Sangkot penasaran.
Dugaan lalu mengarah pada kemungkinan bahwa kampung Romusha di Klender telah dijadikan kampung percontohan. Sangkot dan Kevin meyakini, tragedi Klender merupakan eksperimen medis karena salah satu sumber menyebut bahwa vaksin yang digunakan mengandung basil atau mikroorganisme mematikan.
Dokumen yang secara tidak langsung mendukung dugaan tersebut adalah arsip pengadilan di Australia terkait kejahatan perang yang berlangsung tahun 1945. Pengadilan terebut menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap tokoh militer Jepang, Hirosato Nakamura.
Dalam peristiwa yang berbeda dari tragedi Klender, Nakamura dinyatakan bersalah karena menewaskan 15 dari 17 narapidana di Indonesia dalam sebuah uji coba vaksin tetanus. Sementara 2 narapidana lainnya dieksekusi mati, agar tidak membocorkan eksperimen yang gagal tersebut.(up/ir)
sumber
Bertepatan dengan 65 tahun kematian Prof. Dr. Achmad Mochtar, Lembaga Biologi Molekul Eijkman melakukan renungan di makam sang profesor di Pemakaman Ereveld, Kawasan Ancol, Jakarta, Sabtu (3/7/2010).
Acara renungan yang bertajuk 'Dawn Memorial Service of Prof. Dr. Achmad Mochtar' kali ini menjadi istimewa, karena dua ilmuwan Eijkman Prof Sangkot Marzuki dan J. Kevin Baird, bulan lalu berhasil mengungkap lokasi makam sang profesor yang selama ini masih misterius.
Berdasarkan catatan salah seorang petugas militer Jepang, Prof Achmad Mochtar dieksekusi pada tanggal 3 Juli 1945. Ia lalu dikuburkan secara massal bersama dokter lain yang tewas di dalam tahanan, dan sejak saat itu tidak seorangpun tau di mana letak makamnya.
Menurut Sangkot dan Baird, seorang asisten Achmad Mochtar yaitu Ali Hanafiah sebenarnya telah menemukan makam tersebut pada akhir tahun 1976. Ia menuliskan dalam sebuah memoar pada tahun 1977, namun catatan terebut hanya diketahui oleh keluarganya sendiri.
Informasi mengenai makam tersebut justru ditemukan oleh Sangkot dan Kevin dalam arsip milik Institut Dokumentasi Perang yang ada di Amsterdam. Setelah mendapatkan info, pada 10 Juni 2010 keduanya mendatangi makam Evereld, sebuah pemakaman Belanda di kawasan Ancol, Jakarta.
Pada lokasi yang ditunjukkan oleh Institut Dokumentasi Perang, nama Mochtar ternyata tidak ditemukan. Baru setelah dicek satu persatu, Sangkot dan Kevin menemukan nama Mochtar di lokasi lain di dalam pemakaman tersebut.
"Ternyata sumber dari Amsterdam itu juga tidak akurat. Oleh karena itu saya yakin, selain Ali Hanafiah pada tahun 1966, belum ada seorangpun yang menemukan makam ini. Kalau ada, tentunya data itu sudah dikoreksi," ungkap Sangkot dalam acara renungan di makam Ereveld, Ancol, Sabtu (3/7/2010).
Tidak hanya menemukan lokasi makam, Sangkot dan Kevin juga berhasil mengumpulkan beberapa keturunan Prof Achmad Mochtar. Dua cucu perempuan Mochtar, yakni Moniq dan Jolanda yang tinggal di Belanda akhirnya hadir dalam acara renungan yang baru pertama digelar di makam tersebut.
Sekilas Prof. Dr. Achmad Mochtar
Terlahir di Sumatra Barat tahun 1892, Mochtar lulus dari sekolah kedokteran STOVIA tahun 1916 dan mengambil 2 tahun penempatan wajib di klinik terpencil di Panyabungan Sumatera Utara. Disana bertemu dengan W.A.P Schuffner, peneliti mikroskopik longitudinal pertama pada parasit malaria.
Berkat pengaruh Schuffner, administrasi kolonial Belanda di Indonesia (saat itu disebut Netherlands East Indies) memberangkatkan Mochtar ke Universitas Amsterdam untuk meraih gelar doktor.
Dalam tulisan tesisnya tahun 1927 dia menulis soal leptospira, dimana saat itu sebagian besar menyangkal bahwa leptospira menyebabkan demam kuning. Promotor utamanya adalah Hideyo Noguchi, ahli mikrobiologi Jepang yang pada tahun 1911 membuktikan bahwa ada jenis spirochete merupakan penyebab neuropati syphilis.
Mochtar kembali ke Indonesia dan melanjutkan penelitian mengenai leptospirosis sebelum bergabung dengan fasilitas penelitian biomedis terbaik, the Central Medical Laboratory di Indonesia tahun 1937. Mochtar kemudian ditunjuk sebagai direkturnya yang kemudian lembaganya berganti nama menjadi Eijkman.
Tragedi Klender
Pada bulan Juli 1944 di sebuah kampung Romusha atau kerja paksa di Klender Jakarta geger setelah ratusan romusha mendapatkan suntikan vaksin tifus, kolera dan disentri yang kemudian tewas. Sebenarnya pemberian vaksin itu bukan dilakukan oleh Lembaga Eijkman tapi Lembaga Pasteur Bandung yang pada waktu itu dikelola oleh militer Jepang.
Seperti dikutip Science Magazine, edisi 2 Juli 2010, beberapa detail dari peristiwa Romusha itu mungkin tidak akan pernah terungkap. Simpang siur, misalnya, berapa Romusha yang disuntik vaksin yang perkiraannya sebanyak 1500 orang.
Para pekerja ini menderita penyakit dengan gejala tetanus, lalu Jepang meminta para dokter dari Eijkman untuk mengobatinya.
Peneliti dari Lembaga Eijkman ketika itu berhasil menemukan kontaminasi racun tetanus dalam vaksin yang diberikan kepada para Romusha. Celakanya, Jepang justru menuduh para peneliti punya skenario di balik kontaminasi tersebut.
Sejumlah dokter dan staf Lembaga Eijkman ditangkap dan disiksa agar mengaku, termasuk Prof Dr Achmad Mochtar direktur yang menjabat saat itu.
"Orang Jepang menggambarkannya sebagai wabah meningitis (radang selaput otak), tapi pemeriksaan melalui fungsi sumsum tulang mengatakan lain," kata Baird seperti dikutip dari Science Magazine.
Suatu tim medis yg dipimpin oleh Bahder Djohan segera membawa sekitar 90 Romusha yang belum terlalu parah sakitnya ke beberapa rumah sakit pusat di Jakarta untuk terapi antitetanus, tapi nyawa mereka tidak dapat diselamatkan.
Beberapa minggu sesudahnya, para peneliti Eijkman yang menganalisa hasil autopsi sampel jaringan berkesimpulan bahwa ternyata vaksinnyalah yang telah terkontaminasi oleh racun tetanus.
Tapi temuan itu justru membuat Jepang marah. Pada bulan Oktober 1944, Kenpeitai (tentara Jepang) menangkap Mochtar dan rekan-rekannya dan juga para dokter dan staf di rumah sakit yang melakukan vaksinasi. Para tawanan itu mengatakan bahwa mereka dipikuli, disetrum, dibakar dan dituang air. Seorang dokter tewas ketika sedang disiksa dan seorang lainnya mati di dalam tahanan.
Orang-orang di Institut Eijkman yang selamat dibebaskan pada bulan Januari 1945 kecuali Mochtar. Diduga Mochtar meyakinkan agar mereka dibebaskan dibebaskan dengan imbalan bersedia menjadi tahanan.
Mochtar kemudian dihukum pancung pada tanggal 3 Juli 1945. Berdasarkan penelusuran buku harian salah satu perwira Jepang, mayatnya kemudian digilas dengan mesin giling dan sisa-sisa tubuhnya dibuang ke pemakaman massal di Evereld Ancol.
Direktur Lembaga Eijkman saat ini, Prof Sangkot Marzuki menilai berbagai bukti menunjukkan Prof Achman Mochtar tidak bersalah dalam tragedi tersebut. Saat melakukan penelusuran bersama J Kevin Baird, sejawatnya yang memimpin
Eijkman-Oxford Clinical Research, ia menemukan sejumlah kejanggalan.
Salah satunya terkait kondisi kampung Romusha di Klender yang sangat menyedihkan, seperti dikatakan oleh beberapa sumber yang diperoleh Sangkot dan Kevin. "Untuk apa Jepang mem-vaksin orang-orang yang bahkan tidak mereka beri makan?" tanya Sangkot penasaran.
Dugaan lalu mengarah pada kemungkinan bahwa kampung Romusha di Klender telah dijadikan kampung percontohan. Sangkot dan Kevin meyakini, tragedi Klender merupakan eksperimen medis karena salah satu sumber menyebut bahwa vaksin yang digunakan mengandung basil atau mikroorganisme mematikan.
Dokumen yang secara tidak langsung mendukung dugaan tersebut adalah arsip pengadilan di Australia terkait kejahatan perang yang berlangsung tahun 1945. Pengadilan terebut menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap tokoh militer Jepang, Hirosato Nakamura.
Dalam peristiwa yang berbeda dari tragedi Klender, Nakamura dinyatakan bersalah karena menewaskan 15 dari 17 narapidana di Indonesia dalam sebuah uji coba vaksin tetanus. Sementara 2 narapidana lainnya dieksekusi mati, agar tidak membocorkan eksperimen yang gagal tersebut.(up/ir)
sumber
0 comments:
Post a Comment