Minang Saisuak #118 - Abdoel Chalid Salim (1902-1985): dari Simpatisan PKI ke Kayu Salib

Koto Gadang mungkin nagari yang penuh rahasia, karena orang-orang keturunan warga nagari di tubir Ngarai Sianok itu bermacam ragam kulikat intelektuilnya. Salah seorang di antaranya adalah Abdoel Chalid Salim, adik Haji Agus Salim.

Chalid lahir di Tanjung Pinang pada 24 November 1902. Saat itu ayahnya, Sutan Muhammad Salim, sedang bertugas di kota ‘dollar’ Kepulauan Riau itu. Pria asal Koto Gadang itu adalah seorang hoofddjaksa dalam jajaran Departemen BB Belanda yang sudah ditugaskan di banyak tempat, termasuk di Padang dan Medan.

Chalid tidak sempat mengenal ibunya karena sang ibu meninggal ketika ia masih bayi. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan Widna Roemaniah. Chalid 13 orang bersaudara, tapi hanya 7 orang yang berumur panjang, yang tertua adalah Haji Agus Salim yang kemudian menjadi diplomat kawakan Indonesia, republik balita yang baru lepas dari hisapan mencucut ‘palasik kuduang’ Belanda. Chalid mengatakan dalam otobiografinya,Vijftien Jaar Boven-Digoel (1973) bahwa keluarganya sehari-hari di rumah berkomunikasi dalam bahasa Belanda karena ayahnya termasuk golongan elit pribumi dalam sistem administrasi kolonial Hindia Belanda.

Chalid bersekolah di MULO Batavia tahun 1923, mengikuti ayahnya yang memilih tinggal di ibukota Hindia Belanda itu setelah pensiun. Setelah itu ia berkerja di onderneming Soember Moedjoer di Lumajang. Kemudian ia mengikuti saudaranya, Jacob Salim, di Pontianak. Di sana ia menjadi anggota redaksi Halilintar Hindia, sebuah berkala yang menjadi corong PKI, dan mendirikan Partai Sarekat Rakyat dengan Koesno Goenoko.

Kemudian Chalid kembali ke Jawa dan menepat ke Surabaya. Di sana ia bertemu dengan Moeso dan menjadi anggota redaksi berkala merah Proletar. Tahun 1925 Pemerintah Kolonial Belanda melakukan politik pembersihan. Chalid terpaksa kembali ke kampungnya di Koto Gadang. Waktu itulah sepupunya, Miswar (yang juga anggota PKI dan kemudian didigulkan), memberitahukan bahwa Tan Malaka datang ke Singapura dan mendesak Chalid pergi ke sana untuk bertemu dengannya.

Dalam situasi sulit Chalid berencana ke Singapura lewat Jambi dan Bagan Siapi-Api, atau lewat Pontianak, tapi urung. Akhirnya ia menyelinap ke Medan. Di sana ia menulis untukPewarta Deli di bawah nama pena Katjong Betawi. Agen-agen Politiek Inlichting-dienstBelanda mencokoknya di Medan pada 12 Oktober 1927. Pada tahun itu juga ia dikirim ke Digul.

Tahun 1943, menyusul serbuan si Fasis Jepang ke Indonesia, Chalid Salim dan para digulis lainnya diungsikan Belanda ke Australia. Di Melbourne ia bekerja untuk mingguanPenjuluh yang menjadi media ‘Nederlandsch-Indische propaganda’ di bawah NIGIS (Netherlands Indies Government Information Services). Inilah yang disebut oleh Harry Poeze (2012) sebagai ‘the strange alliance of Dutch authorities and Digoel exiles in Australia, 1943-1945′.

Terkepung oleh dilema (kalau balik ke Indonesia takut dibantai Jepang), Chalid Salim memilih pergi ke Belanda, tanah air para penjajah yang sudah mendigulkannya. Kapal Belanda Volendam ‘mendamparkannya’ di Rotterdam pada 3 Oktober 1946. Dalam otobiografinya, Chalid mengaku seperti berada di ‘tanah airnya’ sendiri karena sejak kecil sudah hidup dalam budaya Belanda (hlm. 357). Di Belanda, Chalid bertemu Erna, seorang gadis Indonesia yang akrif dalam stichting ‘Nederland helpt Indie’. Chalid dan Erna menikah di Amsterdam pada 28 Januari 1958 (hlm. 369).

Negeri Eropa yang dingin benar-benar mengubah jalan hidup dan pikiran Chalid. Ia menjadi pemeluk Kristen dengan nama baptis Ignatius Franciscus Michael Salim(sering disingkat: I.F.M. Salim). Belum diperoleh keterangan kapan persisnya ia dibaptis dan di mana. Kekristenannya dicelakkannya benar dalam otobiografinya yang dibuka dengan kutipan Injil: Matheus 20, 16. Jika sudah begitu apa hendak dikata, Ranah Bundopun mungkin akan menjauh darinya.

Foto ini merekam pertemuan Chalid Salim dan keluarganya dengan Abang ‘kecil’nya, Haji Agus Salim, di Amsterdam tahun 1953. Bujang yang berdiri di kiri Chalid Salim adalah Sjahzan, adik Sutan Sjahrir. Cukup kontras gaya fashion kedua kakak beradik itu dan tentu cukup banyak cerita yang dapat dibuat tentangnya. Belum diperoleh keterangan apakah pada waktu itu Chalid sudah menyembah ‘kayu berjupang’ atau belum. Konon ketika belakangan Haji Agus Salim diberitahu bahwa adiknya sudah memeluk Kristen, si Abang hanya berkomentar: Baguslah sekarang dia sudah percaya kepada Tuhan.

Belum saya temukan tacatan apakah sesudah menjadi umat Kristiani, I.F.M. Salim pernah lagi merasakan hangatnya udara Minangkabau, khususnya Koto Gadang. Yang saya temukan: ia meninggal di Belanda pada 10 Maret 1985 dan dimakamkan di Pemakaman Rijswijk Eikelenburg, Zuid-Holland. Inilah kisah seorang lagi anak Minangkabau yang telah manuka kabilaik-nya dalam alunan riak rantau dan hilang dibawa ‘angin limbubu’. Kalau ada orang Koto Gadang yang berkunjung ke Belanda, sempatkan jugalah mengunjungi pusaro anak-kemenakan yang telah tabuang jauah itu.

Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Vijftien Jaar Boven-Digoel. Amsterdam: Uitgeverij Contact, 1973: di muka hlm.224). | Singgalang, Minggu, 6 Januari 2013

0 comments:

Post a Comment